Bid’ahkah Niat Shalat dan Doa Bersama setelah Shalat Jamaah?

oleh: Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA dalam rumahfiqih

Pertanyaan :
Assalamualaikum Warahmatullahi wr. wb.Akhir-akhir ini jama’ah mushalla saya sedang mengalami kondisi yang kurang nyaman, karena adapernyataan dari seorang ustadz yang mengatakan bahwa niat shalat dengan lafal, “Ushali fardhu zuhri…” adalah bid’ah karena tidak dicontohkan oleh nabi. Menurut ustadz tersebut lafalnya adalah “Niatku shalat dzuhur…dan seterusnya” (bahasa Indonesia). Selanjutnya masalah berdoa setelah shalat wajib berjamaah yang dipimpin oleh imam dan diamini oleh ma’mum adalah bid’ah. Untuk kedua hal ini kami mohon penjelasan bapak ustadz.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wr. Wb.

Jawaban :

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Apa yang dikatakan ustadz itu ada sebagian benarnya, tapi bukan berarti 100% tepat. Termasuk yang paling disorot justru cara menyampaikannya. Sebab cara yang demikian kurang mencerminkan kepiawaian dalam menyampaikan pesan.

Kecuali beliau berbicara dalam forum khusus, bukan di depan publik heterogen, tentu merupakan hak beliau untuk berpendapat.

Namun bila beliau mengangkat tema sensitif tersebut di tengah jamaah yang heterogen, pastilah akan menimbulkan keresahan. Sebab tema itu adalah wilayah yang seringkali menjadi pangkal perbedan pendapat di kalangan umat Islam sejak dahulu. Sebagian mendukung adanya ‘ushalli‘ dan sebagian menentangnya. Demikian juga dengan doa berjamaah, sebagian mengakui ada masyru’iyahnya dan sebagian menolaknya.

Tiba-tiba di tengah kerukunan antara mazhab yang memang berbeda, ada orang yang main tembak langsung sambil memojokkan pendapat yang tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri. Bahkan sambil menuduh bid’ah atau perkataan lain yang kurang layak didengar.

Apa yang dilakukannya, lepas dari urusan masalah khilaf dan mana yang lebih kuat, adalah seperti membangunkan macan yang sedang tidur. Kalau seandainya beliau mengangkat masalah itu di tengah majelis para ulama yang memang ahli di bidang fiqih, khususnya masalah perbandingan mazhab, tentu akan lain ceritanya. Sebab beliau akan menemukan pembanding yang seimbang. Kalau hujjahnya kuat, mungkin beliau akan mendapat dukungan, sebaliknya kalau hujjahnya lemah, beliau pun tahu bahwa selain pendapat pribadinya, masih ada pendapat lainnya yang tidak sama dengannya.

Masalah Ushalli

Sebenarnya masalah ushalli kalau kita rujuk ke hadits-hadits nabawi, memang kita tidak mendapatkan perintah eksplisit. Kita tidak pernah menerima riwayat yang shahih bahwa ketika shalat, Rasulullah SAW melafadzkan ushalli.

Sampai di sini, semua pihak pasti sependapat, baik yang mendukung ushalli dengan yang tidak. Namun ketika salah satu pihak melayangkan tuduhan kepada saudaranya sebagai pelaku bid’ah, maka ceritanya menjadi lain lagi.

Sebab bukan berarti sesuatu yang tidak ada dalil eksplisitnya, lantas menjadi tidak ada. Dan kalau dikerjakan, tidak lantas menjadi bid’ah secara otomatis. Kita bisa buat perbandingan dengan masalah lainnya, seperti dalam masalah tertib urutan ibadah. Kita tidak menemukan dalam dalil eksplisit pernyataan nabi SAW bahwa kalau berwudu’ harus urut (tertib). Yang ada hanya membasuh anggota badan saja.

Namun umumnya para ulama memasukkan rukun terakhir, yaitu tertib. Baik dalam rukun wudhu’ atau pun rukun shalat. Kalau tertib itu tidak ada haditsnya, apakah tertib itu boleh dikatakan bid’ah? Tentu saja tidak. Meski pun munculnya rukun tertib itu hanya ijtihad para ulama, tapi tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah yang dibuat-buat. Sebab kenyataannya, bila urutan wudhu tidak tertib, nyatanya juga tidak sah.

Walhasil, tertib itu meski tidak diucapkan oleh nabi sebagai bagian dari rukun shalat, namun ketika dideskripsikan aturan wudhu’, muncullah hal itu sebagai konsekuensi logis dari praktek ibadah.

Demikian juga dengan pelafazan niat ushalli. Ini hanyalah ijtihad sebagain ulama, di mana mereka mengataka bahwa niat itu akan lebih kuat di hati apabila dilafazkan. Meski tidak ada seorang pun yang mewajibkan pelafazan ushalli. Mereka hanya sekedar menganjurkan saja, tapi tidak menyunnahkan apalagi mewajibkan.

Ijtihad sebagian ulama tentang ushalli ini sebenarnya bukan tanpa bantahan. Banyak ulama lain yang tidak setuju dicantumkannya pelafazan niat dengan ushalli. Tapi yang menarik, meski tidak setuju, tetap tidak kita dengar saling ejek, atau menuduh bid’ah atau bentuk-bentuk ungkapan lainnya yang kurang enak didengar.

Selama sebuah masalah merupakan masalah ijtihad, apalagi khilaf di kalangan ulama, sebaiknya kita menahan diri dari mendeskriditkan pendapat lain.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

 

Oleh : Mahbub Ma’afi Ramdlan dalam NU Online

Pertanyaan

Sejak dahulu kalau saya mengimami shalat pasti saya tutup dengan doa bersama. Saya memang belum tahu hadits berkenaan dengan doa bersama setelah shalat. Tetapi karena sedari dulu amaliyah orang NU ya seperti itu, maka saya ikuti saja dan saya yakin itu benar. Belakangan amaliyah saya ini dipermasalahkan. Kata mereka Nabi SAW tak pernah melakukan doa bersama setiap selesai shalat fardlu. Mohon penjelasannya.
Jawaban

Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Sebelum masuk pada pembasan doa bersama, maka kami akan mengetengahkan secara singkat  mengenai dzikir bersama, dimana sebenarnya masalah ini sudah dibahas para ulama terdahulu. Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم

Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم

“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)

Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري

“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306

“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)

Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني

Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)

Mahbub Ma’afi Ramdlan

Leave a comment